Tawadhu’ dalam Setiap Langkah: Menanamkan Kerendahan Hati di Lingkungan Pesantren

Pesantren adalah institusi pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menjadi tempat utama untuk menanamkan kerendahan hati (tawadhu’) kepada para santrinya. Dalam lingkungan yang serba sederhana dan disiplin, santri diajarkan untuk melepaskan ego dan menempatkan diri mereka sebagai pembelajar yang senantiasa haus akan ilmu dan bimbingan. Proses menanamkan kerendahan hati ini merupakan inti dari pembentukan karakter seorang santri, memastikan bahwa ilmu yang didapatkan tidak melahirkan kesombongan. Dengan demikian, pesantren adalah tempat ideal untuk menanamkan kerendahan hati sebagai bekal hidup.

Filosofi tawadhu’ di pesantren tercermin dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari santri. Mereka hidup dalam kesederhanaan, seringkali jauh dari kemewahan duniawi yang mungkin mereka miliki di rumah. Kamar tidur yang sederhana, makanan yang ala kadarnya, dan pakaian yang seragam adalah bagian dari pengalaman yang mengajarkan mereka untuk bersyukur dan tidak berlebihan. Kondisi ini secara tidak langsung mendidik santri untuk tidak membanggakan harta atau status sosial, melainkan fokus pada kemuliaan ilmu dan akhlak. Pada sebuah workshop pendidikan karakter yang diadakan oleh Forum Pesantren Nasional pada 11 Mei 2025 di Yogyakarta, seorang pengasuh pesantren senior menyoroti bahwa “kesederhanaan hidup di pesantren adalah kurikulum tersirat yang paling efektif dalam mengikis kesombongan.”

Selain kesederhanaan materi, interaksi di pesantren juga sangat menekankan adab dan penghormatan, terutama kepada guru (kiai atau ustaz). Santri diajarkan untuk selalu mendengarkan dengan seksama, tidak memotong pembicaraan, dan selalu merujuk kepada guru dalam setiap masalah. Tradisi mencium tangan guru, duduk bersimpuh saat mengaji di hadapan kiai, atau melayani kebutuhan guru adalah bentuk konkret dari tawadhu’ yang dipraktikkan. Ini mengajarkan bahwa setinggi apapun ilmu yang dimiliki, seorang santri harus tetap merasa rendah hati di hadapan guru dan Allah SWT. Bahkan, ada kisah populer tentang ulama besar yang tetap tawadhu’ di hadapan murid-muridnya, menunjukkan bahwa kerendahan hati adalah sifat yang harus abadi.

Disiplin yang ketat dan aturan yang mengikat juga berperan dalam menanamkan kerendahan hati. Santri belajar untuk patuh pada aturan, tunduk pada arahan, dan menyadari bahwa mereka adalah bagian dari sebuah sistem yang lebih besar. Mereka tidak bisa bertindak semaunya, yang secara bertahap mengikis sifat egois dan arogansi. Proses ini tidak hanya terjadi di dalam kelas, tetapi juga dalam kegiatan harian seperti piket kebersihan, antre makan, atau berjalan kaki tanpa alas kaki di lingkungan pesantren. Semua ini adalah bagian dari upaya holistik pesantren untuk menanamkan kerendahan hati sebagai inti dari kepribadian muslim yang sejati. Dengan demikian, santri diharapkan tumbuh menjadi individu yang berilmu tinggi namun tetap membumi, jauh dari kesombongan, dan selalu merasa butuh bimbingan dari Allah SWT.