Di tengah isu ekstremisme dan intoleransi yang mengancam persatuan, pesantren memiliki peran sentral dan strategis sebagai institusi yang efektif Menjawab Tantangan Radikalisme. Lebih dari sekadar tempat belajar agama, pesantren tradisional berfungsi sebagai laboratorium moderasi beragama (wasathiyah) yang membumi, menanamkan nilai-nilai tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan tawasut (moderat). Sistem pendidikan yang diwariskan dari para ulama Nusantara ini secara inheren menolak pemahaman agama yang kaku, tekstualis, dan eksklusif. Oleh karena itu, pesantren menjadi benteng terdepan dalam Menjawab Tantangan Radikalisme dengan mencetak santri yang berislam secara inklusif dan nasionalis.
Kekuatan Tradisi Intelektual Salafus Shalih
Dasar utama pesantren dalam Menjawab Tantangan Radikalisme terletak pada kurikulum keilmuannya, khususnya melalui Balajar Empat Mazhab dan penguasaan Kitab Kuning.
- Fiqih Komparatif: Santri diajarkan bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam masalah furu’ (cabang hukum) adalah hal yang sah dan telah ada sejak zaman ulama salaf. Pembelajaran komparatif ini mengajarkan kerendahan hati intelektual (tawadhu’), yang merupakan lawan dari klaim kebenaran tunggal yang menjadi ciri khas radikalisme. Mereka belajar bahwa semua pandangan memiliki dasar dalil, sehingga tidak ada alasan untuk menyalahkan pihak lain.
- Tasawuf dan Akhlak: Studi tentang Tasawuf (seperti Kitab Al-Hikam atau Ihya’ Ulumiddin) menekankan introspeksi diri (muhasabah), penyucian hati, dan pentingnya hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minannas). Fokus pada perbaikan diri ini mengalihkan energi santri dari menghakimi orang lain ke arah perbaikan spiritual pribadi.
Pengasuh Pondok Pesantren fiktif, K.H. Rahmat Hidayat, yang merupakan konsultan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sejak tahun 2022, sering mengatakan bahwa, “Pesantren mengajarkan adab sebelum ilmu. Adab itulah yang membuat santri tidak mudah menghakimi.”
Integrasi Nasionalisme dan Hubbul Wathan
Selain moderasi agama, pesantren secara historis menanamkan nilai-nilai nasionalisme yang kuat (hubbul wathan minal iman—cinta tanah air adalah bagian dari iman).
- Peringatan Hari Besar Nasional: Berbeda dengan kelompok radikal yang menolak peringatan hari besar negara, pesantren secara aktif mengadakan upacara bendera, memperingati Hari Kemerdekaan, dan memasukkan sejarah perjuangan ulama dalam kurikulum mereka. Misalnya, upacara bendera di Pesantren “Bela Negara” fiktif selalu diadakan setiap tanggal 17 Agustus dengan khidmat, diikuti dengan mau’izhah hasanah (nasihat baik) tentang peran santri dalam menjaga NKRI.
- Musyawarah dan Demokrasi: Melalui organisasi santri, mereka dilatih dalam Problem Solving Kolektif dan musyawarah, yang merupakan praktik nyata dari demokrasi dan penghormatan terhadap konsensus, mengajarkan mereka Pelajaran Hidup tentang kewarganegaraan yang baik.
Kehadiran Alumni Pesantren yang berwawasan luas dan berintegritas di berbagai sektor publik, termasuk di lembaga aparat negara seperti Kepolisian dan TNI, menjadi bukti konkret keberhasilan pesantren dalam Menjawab Tantangan Radikalisme melalui pendidikan karakter yang moderat. Mereka adalah agen penyebar Islam yang damai dan inklusif di tengah masyarakat.