Fenomena Pernikahan dini masih menjadi isu kompleks di Indonesia, dan di beberapa komunitas yang terkait erat dengan pesantren, praktik ini masih dipertahankan atas dasar interpretasi tradisi. Meskipun pesantren adalah lembaga pendidikan yang fokus pada ilmu agama, lingkungan sosial di sekitarnya seringkali masih menjunjung tinggi norma bahwa menikah di usia muda dapat menghindari fitnah dan menyempurnakan ibadah.
Namun, praktik ini berbenturan langsung dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang telah menaikkan batas usia minimum pernikahan menjadi 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Fenomena Pernikahan dini ini menciptakan dilema hukum dan sosial. Di satu sisi, ada norma adat atau interpretasi agama yang diyakini; di sisi lain, ada regulasi negara yang bertujuan melindungi hak-hak anak dan memastikan kematangan fisik serta psikologis mereka.
Salah satu akar masalah dari Fenomena Pernikahan dini adalah minimnya literasi kesehatan reproduksi dan kesadaran akan hak anak. Banyak pihak, termasuk orang tua dan tokoh masyarakat, belum sepenuhnya memahami dampak negatif pernikahan di bawah umur terhadap kesehatan ibu dan anak, serta risiko tingginya angka perceraian dan masalah ekonomi dalam rumah tangga yang belum matang.
Meskipun pesantren secara institusional tidak selalu menganjurkan pernikahan dini, pengaruh lingkungan komunitas santri sangat kuat. Lulusan pesantren, khususnya, seringkali dianggap sudah matang secara spiritual dan layak menikah, meskipun usia mereka belum mencapai batas legal. Ini menjadi tantangan besar bagi pesantren untuk menyeimbangkan pendidikan agama dengan kepatuhan pada hukum negara.
Upaya mengatasi Fenomena Pernikahan dini memerlukan pendekatan multi-sektor. Pemerintah daerah, Kementerian Agama, dan pesantren harus bersinergi. Sekolah dan pesantren dapat mengintegrasikan pendidikan kesehatan reproduksi dan hukum perlindungan anak ke dalam kurikulum mereka, mengajarkan santri tentang pentingnya perencanaan masa depan dan kematangan usia pernikahan.
Peran tokoh agama dan kyai sangat krusial. Pemuka agama memiliki otoritas untuk memberikan tafsir agama yang lebih inklusif dan progresif, mendukung semangat undang-undang yang bertujuan melindungi kesejahteraan umat. Fatwa atau panduan yang tegas dari ulama dapat secara efektif mengubah norma sosial yang telah lama mengakar.
Peningkatan akses dan kualitas pendidikan pasca-pesantren juga dapat menjadi penangkal. Dengan menawarkan keterampilan vokasi atau beasiswa kuliah, santri termotivasi untuk menunda pernikahan demi mengejar karir atau pendidikan tinggi. Harapan ekonomi yang lebih baik menjadi insentif yang kuat untuk mengutamakan kematangan.
Kesimpulannya, Fenomena Pernikahan dini di komunitas pesantren adalah persimpangan antara tradisi dan modernitas hukum. Urgensi Reformasi kultural diperlukan. Melalui edukasi yang komprehensif dan peran aktif semua pihak, praktik ini secara bertahap dapat dikurangi, memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan hak penuh untuk tumbuh kembang dan mencapai potensi terbaik mereka.