Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menjadi tonggak penting dalam pengakuan negara terhadap peran pondok. Regulasi ini memastikan pesantren tidak hanya diakui sebagai lembaga pendidikan keagamaan, tetapi juga sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Untuk memahami implikasinya, penting mendengarkan Ditjen Pendidikan Islam.
Menurut Ditjen Pendidikan Islam, Undang-Undang ini bertujuan memperjelas status hukum dan fungsi pesantren. Pengakuan ini membuka peluang bagi pondok untuk mendapatkan dukungan pendanaan dan fasilitas setara lembaga pendidikan formal lainnya. Dampaknya signifikan terhadap kualitas sarana dan prasarana pondok.
Salah satu fokus utama UU ini adalah pengakuan terhadap mu’adalah atau penyetaraan ijazah pesantren. Lulusan pesantren kini memiliki pengakuan yang lebih kuat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau memasuki dunia kerja. Hal ini mengatasi isu regulasi yang selama ini menghambat mobilitas santri.
Ditjen memastikan implementasi UU ini akan meningkatkan mutu lulusan pesantren. Standar kurikulum, meskipun tetap menjaga kekhasan pesantren, kini diselaraskan dengan kebutuhan kompetensi abad ke-21. Ini bertujuan mencetak santri yang alim (mutafaqqih fiddin) sekaligus memiliki keahlian profesional yang relevan.
Pondok kini memiliki tiga fungsi utama yang diakui: Pendidikan, Dakwah, dan Pemberdayaan Masyarakat. Pengakuan fungsi Pemberdayaan Masyarakat ini sangat penting. Pesantren didorong menjadi sentra ekonomi dan sosial, berkontribusi langsung pada kesejahteraan komunitas di sekitarnya.
Aspek pendanaan juga menjadi titik terang. Melalui UU ini, pemerintah berkomitmen memberikan alokasi anggaran khusus untuk pesantren. Dana ini dapat digunakan untuk peningkatan kualitas pengajar, pengembangan infrastruktur, dan penyediaan beasiswa bagi santri yang berprestasi atau kurang mampu.
Tantangan regulasi yang dihadapi Ditjen adalah menjaga keseimbangan. Penting untuk memastikan standar pendidikan terpenuhi tanpa menghilangkan kemandirian dan kekhasan tradisi pesantren. Fleksibilitas kurikulum harus tetap dipertahankan agar esensi pendidikan Salaf tetap lestari.
Oleh karena itu, Ditjen terus berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk pimpinan pondok, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah. Sinergi ini diperlukan untuk menyusun peraturan turunan yang aplikatif dan mudah diimplementasikan di lapangan, sesuai dengan keragaman karakteristik pesantren di Indonesia.
Kesimpulannya, Undang-Undang Pesantren, yang diinisiasi dan diawasi oleh Ditjen, membawa angin segar. Ia bukan hanya formalitas hukum, tetapi fondasi strategis untuk pengembangan pondok. Tujuannya adalah memastikan pesantren terus menjadi pilar penting dalam mencetak sumber daya manusia unggul di masa depan.